07 Aug 2020

Prospektif BPR sebagai Angin Segar di Tengah Pandemi

 

Jakarta – Pandemi sempat memporak-porandakan perekonomian di awal kemunculannya. Akan tetapi, kelompok BPR (Bank Perkreditan Rakyat) tetap dinilai prospektif hingga memasuki masa pemulihan ekonomi nasional seperti sekarang. Hal ini disebabkan peningkatan fungsi intermediasi karena segmen konsumen yang baik di tahun 2020. 

 

Senantiasa Berkomitmen Menjaga Likuiditas

Sebenarnya, kondisi perbankan nasional keseluruhan dapat dikatakan relatif stabil. Namun, likuiditas perbankan tetap menjadi prioritas untuk diawasi. Halim Alamsyah sebagai Ketua LPS (Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan) menerangkan berbagai upaya untuk menjaga likuiditas perbankan tanah air.

Salah satunya, dengan menurunkan jumlah tingkat bunga penjaminan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan simpanan bank umum sebesar 25 bps (basis poin). Artinya, LPS mempunyai tingkat bunga penjaminan di BPR sebesar 7,75 persen dan 5,25 persen untuk simpanan bank umum. Semuanya berlaku hanya untuk simpanan rupiah.

Di sisi lain, LPS dan OJK juga bekerja sama memberi insentif salah satunya yaitu insentif bagi BPR. Misalnya, pemberian keringanan kelompok perbankan dalam membayar berbagai premi penjaminan. Relaksasi pembayaran diketahui berlaku pada tiga semester, yakni sampai  semester II di tahun 2021. Tujuannya untuk memperluas ruang gerak perbankan nasional di tengah pandemi.

Berbeda dengan LPS, OJK berkomitmen meringankan perhitungan PPAP (Penyisihan Penghapusan Aset Produktif) umum dan nilai AYDA (Agunan yang Diambil Alih). Hal ini bukan tanpa alasan, sebab PPAP dan AYDA merupakan faktor-faktor pengurangan modal inti yang dipakai dalam perhitungan pemenuhan modal secara minimum.

Dalam menerapkan relaksasi keuangan itu, BPR ikut mencicipi berbagai benefit kebijakan-kebijakan OJK. Selain itu, relaksasi ini didasarkan peraturan yang dirilis pada 2 Juni 2020, yakni POJK Nomor 34/POJK.03/2020 soal Kebijakan bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) sebagai Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2020.

 

Landasan BPR yang Membuatnya Dinilai Prospektif di tengah pandemi

Komitmen likuiditas, berdampak pada BPR yang dinilai mempunyai prospektif menjanjikan. Misalnya, Joko Suyanto sebagai Ketua Umum Perbarindo (Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia) berpendapat bahwa BPR tetap dalam kondisi yang terjaga, sehat dan tumbuh positif di tengah pandemi.

Penilaian prospektif atau tidaknya bukan sekadar dilandaskan opini masyarakat, melainkan dilandaskan pada indikator-indikator kinerjanya. Salah satu indikator yang dimaksud ialah naiknya persentase aset industri BPR sebesar 6,08 persen sejak Mei tahun 2020 atau mencapai 145 triliun. Penilaian ini diperoleh jika dibandingkan dari posisi yang sama  di tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, masyarakat masih memercayai BPR sehingga terjadi peningkatan dana simpanan masyarakat. Setidaknya, dana simpanan berbentuk tabungan naik 6,77 persen, sedangkan deposito meningkat menjadi 6,43 persen. Likuiditas yang terjamin juga membuat rasio LDR mampu mencapai 79,87 persen.

Penyaluran kredit pun tetap berjalan di tengah pandemi. Bahkan, tampak kenaikan 5,50 persen perihal dana kredit yang disalurkan ke masyarakat. Artinya, kredit telah mencapai Rp. 110 triliun pada Mei 2020. Tentunya, semua pencapaian BPR membuat banyak pihak tetap mempercayai perbankan ini.

 

Hujan Apresiasi

Prospektif BPR di tengah pandemi, menuai hujan apresiasi dari berbagai kalangan. Joko Suyanto juga memberi penilaian positif mengenai kebijakan pemerintah dalam menyelamatkan perekonomian yang digoyahkan COVID-19. Selain itu, masyarakat ikut memberi penilaian yang sama. Apresiasi positif terus bermunculan sampai sekarang.

Dengan demikian, prospektif BPR dapat disinggung memakai angka-angka faktual. Hal ini disebabkan likuiditas yang dijaga pemerintah dengan baik. Likuiditas yang dimaksud juga tidak berasal dari dana pihak ketiga semata, melainkan juga dari angsuran nasabah. Artinya, kebijakan restrukturisasi yang bermunculan tidak akan memeranguhi likuiditas di tengah pandemi.